Berdasarkan catatan yang ada, sejarah berdirinya Pura Jati memiliki kaitan dengan Pura Perancak, Pura Gede Amertasari dan Pura Dalem Melanting. Hal ini tertuang dalam konsep Purana yang sedang disusun Samania Tri Dharma Jati.
Sekitar tahun 1478 Masehi, Danghyang Dwijendra atau yang juga dikenal dengan Danghyang Nirarta atau Pedanda Sakti Wawu Rauh meninggalkan Blambangan menuju Bali menyeberangi Segara Rupek. Beliau datang ke Bali dalam rangka dharmayatra untuk menyebarkan ajaran agama Hindu.
Dalam perjalanan ini, beliau ditemani istri dan tujuh putra-putrinya yakni Diah Wiraga Sloga, Ida Wiraga Sandi, Ida Lor, Ida Ler, Ida Istri Rahi, Ida Telaga dan Ida Kaniten. Dalam penyeberangan tersebut, Danghyang Nirarta menaiki waluh yang isinya sudah dibuang, sedangkan istri dan putra-putri beliau naik perahu tradisional atau jukung yang bocor. Karena kesucian beliau, perjalanan ini tidak menemui hambatan. Rombongan ini mendarat di pantai Purancak, Jembrana.
Pada saat itu, kehidupan masyarakat di bawah kekuasaan I Gusti Ngurah Rangsasa di mana kehidupan diselimuti oleh kegelapan (awidya). Kehadiran Danghyang Dwijendra ini kemudian dikaitkan dengan anglurah I Gusti Ngurah Rangsasa dan keberadaan Pura Gede Purancak.
Dalam usaha menyelamatkan masyarakat Jembrana, Danghyang Dwijendra masuk langsung untuk melakukan pembinaan agama, adat-istiadat dan ajaran kerohanian. Sikap beliau ini bertentangan dengan istri dan putra-putrinya.
Istri dan putra-putri beliau mengalah, Sri Patni Kaniten bersama putranya Ida Telaga dan Ida Kaniten tinggal dekat sebuah telaga di mana beliau menyebarkan benih-benih padi. Masyarakat Jembrana memberi nama tempat itu Merta Sari dan pura yang didirikan diberi nama Pura Gede Amertasari.
Perjalanan Danghyang Dwijendra selanjutnya menuju arah timur. Dalam perjalanan itu, beliau menemukan seekor naga raksasa yang sangat besar dan memenuhi jalan. Danghyang Dwijendra pun masuk ke mulut naga ini dan menemukan bunga teratai. Kejadian aneh pun terjadi, tubuh beliau menjadi hitam legam. Istri dan putra-putri beliau lari tunggang langgang. Setelah semua dikumpulkan, ternyata ada satu yang tidak ditemukan yakni Diah Wiraga Sloga. Ketika Danghyang Dwijendra menjumpai putrinya itu, ternyata putrinya sudah moksah. Di tempat itu lalu dibangun pura dengan nama Pura Dalem Melanting.
Perjalanan lalu dilanjutkan dengan menyisir hutan (dari Pegametan menuju Jembrana). Dalam perjalanan itu, beliau beristirahat di bawah sebatang pohon. Tongkat yang beliau bawa ditancapkan di dekat beliau duduk. Di tempat itulah kini berdiri sebuah pura yang dibangun untuk menghormati jasa-jasa Danghyang Dwijendra. Pura ini diberi nama Pura Jati. (wah)
Sumber : http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/10/11/bd3.htm
........................................................................................................................Singkat cerita,
Pada tanggal 9 januari saya dan keluarga sembahyang ke purang dangkahyangan ini, puranya cukup bagus. Ketika kesana ada beberapa renovasi pada dinding pura, Mangku-mangku yang ada disana sangat ramah dan jumlahnya cukup banyak, berdasarkan informasi yang saya dapat pada hari siwalatri banyak orang yang datang untuk bersembahyang jadi mangku yang ada dipura siap 24 jam.
Berikut video ini ada Video Pura Jati,
Oia, Jika sudah selesai sembahyang kita bisa melukata di pura jati ini, airnya sangat sengar dengan aroma bunga yang khas. Nah setelah itu kita bisa mendapatkan tirtha yang diperoleh dari air pohon jati, kata mangku di pura ini air yang ada di dalam batang pohon jati ini tidak pernah habis dan volume airnya tetap.
0 Response to "Pura Jati Negara (Dang kahyangan)"
Post a Comment